Banyak yang bilang, Yogyakarta kota yang terbuat dari Rindu, Pulang dan Angkringan. Kota yang selalu menyimpan nostalgia tersendiri dan kuat akan nuansa budayanya seperti wayang, batik, keraton, dan lainnya.
Ada kabar baik dari Kota Yogyakarta belakangan ini, Sob. UNESCO telah secara resmi menetapkan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai warisan budaya dunia. Hal itu dilakukan dalam sidang ke-45 World Heritage Committee (WHC) atau Komite Warisan Dunia di Riyadh, Arab Saudi.
Bahkan, dalam sidang itu Sumbu Filosofi Yogyakarta diterima penuh tanpa sanggahan saat masuk dalam warisan budaya dunia dengan nama The Cosmological Axis of Yogyakarta and its Historic Landmarks.
Jadi, Sumbu Filosofi Yogyakarta itu soal apa, sih? Sumbu Filosofi Yogyakarta merupakan garis imajiner, sebuah garis tegak di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Sumbu filosofi juga merupakan bagian tak terpisahkan dari konsep kosmologi Jawa yang melihat kehidupan sebagai wujud dari hubungan sinergi harmonis antara dua sumber kekuatan yang diwakili oleh Gunung Merapi dan Laut Selatan yang seolah terhubung oleh sumbu imajiner.
Struktur jalan lurus imajiner ini konsepnya membentang antara Panggung Krapyak di daerah Selatan, Keraton Yogyakarta di daerah tengah, dan Tugu Yogyakarta di wilayah utara.
Gunung melambangkan simbol ketenangan tempat suci, sedangkan dataran pemukiman sebagai tempat aktivitas manusia dan laut menggambarkan muara terakhir yang menampung segala sisa di bumi.
Penciptaan sumbu atau poros imajiner ini selaras dengan konsep Tri Hitta Karana atau Tri Angga, yaitu Parahyangan - Pawongan - Pelemahan, atau Hulu - Tengah - Hilir, juga konsep Utama - Madya - Nistha. Filosofi poros imajiner juga melambangkan keselarasan, keseimbangan hubungan manusia dengan tuhannya, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam.
Adapun lima elemen pembentuknya adalah api (dahana) dari Gunung Merapi, tanah (bantala) dari Bumi Ngayogyakarta, air (tirta) dari Laut Selatan, angin (maruta) dan akasa (langit). Kehidupan (fisik, tenaga, dan jiwa) telah tercakup dalam filosofi sumbu imajiner.
Raja Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono ke-1 telah mengubah sumbu filosofi ini menjadi konsep filosofi yang sarat dengan nuansa perpaduan Islam - Jawa, yaitu 'Sangkan Paraning Dumadi'.
1. Panggung Krapyak - Keraton – Tugu
Konsep Panggung Krapyak menghadap ke utara, memiliki makna filosofi untuk menggambarkan perjalanan manusia semenjak dilahirkan, kemudian berproses menuju dewasa, lalu menikah, hingga kemudian memiliki anak.
Ini disebut sebagai sangkan paraning dumadi. Alun-alun Selatan Kraton menunjukan kondisi manusia yang telah mencapai kondisi pria dewasa, serta sudah berani meminang gadis untuk dijadikan istrinya.
Sobat Pesona, dalam memberikan makna filosofi tersebut, Sultan Hamengku Buwono sampai melakukan meditasi loh. Meditasi beliau dilakukan di Bangsal Manguntur Tangkil Sitihinggil Keraton Yogyakarta.
Filosofi yang beliau sampaikan ini mesti dibaca dari arah selatan ke utara dengan Tugu Golong - Gilig sebagai titip pandangnya.
2. Tugu - Keraton - Panggung Krapyak
Pembacaan sumbu filosofi juga memiliki makna sebaliknya, Sob. Dari Tugu Golong - Gilig ke arah selatan dimaknai sebagai perjalanan manusia menghadap Sang Pencipta (Tuhan). Hal ini disebut paraning dumadi. Golong - Gilig menandai bersatunya cipta, rasa, dan karsa yang dilandasi kesucian hati (warna putih) melalui margatama atau jalan menuju keutamaan.
Selanjutnya adalah Jalan Maliabara (Jalan Malioboro) yang berarti penggunaan “obor” penerang, seperti ajaran para wali. Ke selatan lagi terdapat Jalan Margamulya yang berarti jalan menuju kemuliaan. Untuk menuju ke sana, manusia harus bisa mengusir (ngurak) nafsu-nafsu yang buruk. Karena itu jalan berikutnya dinamai Jalan Pangurakan.
Dari ujung jalan Pangurakan, di sebelah utara sampai masuk kedhaton akan melalui tujuh gapura atau pintu dan tujuh halaman. Hal ini melambangkan terdapat tujuh tangga menuju surga.
0 komentar:
Post a Comment